Pemilihan suara dalam rapat
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berakhir Jumat dini hari
(26/9) memutuskan bahwa kepala-kepala daerah tidak lagi dipilih langsung
oleh rakyat namun kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) seperti sebelum 2005.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD memperoleh 226 suara, sedangkan pemilihan kepala daerah langsung mendapat 135 suara.
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso membacakan hasil pemungutan suara
di sidang paripurna, dimana pemilihan kepala daerah langsung yang
didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hanura dan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pilkada lewat DPRD didukung oleh Partai Golkar, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sosial
(PKS), dan Partai Gerindra.
"Rapat paripurna DPR RI memutuskan untuk substansi ini adalah pilihan melalui DPRD," ujar Priyo.
Pemungutan suara ini tak diikuti oleh Fraksi Partai Demokrat .
Setelah tidak diterimanya usul Partai Demokrat tentang RUU Pilkada
akhirnya, Fraksi Partai Demokrat menyatakan bersikap netral dan
meninggalkan arena sidang atau walkout.
Partai Demokrat dalam pengesahan RUU Pilkada mengusulkan tentang
pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak diantaranya adanya uji publik
atas integritas calon gubernur, calon bupati dan calon wali kota,
efisiensi biaya penyelenggaraan pilkada serta perbaikan atas pengaturan
dan pembatasan pelaksanaan kampanye terbuka.
"Meskipun pilkada langsung sebagai wujud penghargaan terhadap
martabat rakyat telah berhasil kita jalankan selama 10 tahun ini.
Berbagai ekses negatif juga telah terjadi dan juga telah merendahkan
harkat dan martabat demokrasi. Untuk itu Partai Demokrat mengusulkan
pilkada langsung dengan 10 syarat yang sifatnya kumulatif," ujar juru
bicara fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman.
Sekitar 60-an walikota dan 13 bupati yang sengaja datang ke gedung
DPR untuk menolak pengesahan RUU pemilihan kepala daerah (pilkada)
kecewa dengan putusan DPR tersebut.
Salah satu bupati yang hadir adalah Bupati Kutai Timur, Isran Noor.
Dia mengatakan berdasarkan pengalaman yang ada, pemilihan kepala daerah
melalui DPRD mengakibatkan ketidakstabilan di daerah.
Banyak sekali bupati dan walikota lanjutnya yang diganggu kinerjanya
oleh DPRD jika kepala daerah tersebut tidak sesuai dengan keinginan
DPRD, ujarnya.
"Sebelum dibacakan pertanggungjawaban sudah ditolak seminggu
sebelumnya, belum dia tahu isinya. Jadi pengalaman seperti ini kami
tidak menginginkan bahwa kami datang ke sini mewakili para bupati dan
walikota sekaligus seluruh rakyat Indonesia untuk tetap bahwa pemilihan
kepala daerah, bupati, walikota tetap langsung tidak melalui DPRD," kata
Isran.
Pengesahan Rancangan Undang-undang Pilkada ini juga diwarnai oleh
aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh massa pendukung pemilihan kepala
daerah langsung maupun pilkada tidak langsung atau melalui DPRD.
Pengamat tata negara dari Universitas Indonesia Refly Harun yang ikut
melakukan aksi unjuk rasa mengatakan pemilihan kepala daerah harus
dilakukan secara langsung atau dipilih langsung oleh rakyat.
Menurutnya, rakyat harus diberikan kesempatan untuk memilih
pemimpinnya sendiri. Dia juga menilai ada motif lain di balik kerasnya
desakan pelaksanaan pilkada tidak langsung yaitu kekuasaan untuk
menandingi pemerintah mendatang yang dipimpin oleh Joko "Jokowi" Widodo
dan Jusuf Kalla.
"Kedaulatan berada di tangan rakyat jadi itu yang harus dipertahankan
bahwa rakyat yang berdaulat harus diberikan kesempatan untuk memilih
pemimpinnya sendiri," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto
mengatakan, partai dan para kader berpotensi memiliki karakter koruptif
dan kolusif jika partai tidak dapat membangun sistem yang transparan dan
akuntabel di dalamnya.
Oleh karena itu, kata Bambang, pilkada melalui DPRD justru
menimbulkan potensi yang lebih besar untuk terjadi tindak pidana korupsi
oleh partai politik
SUMBER :
http://www.voaindonesia.com/content/dpr-hapuskan-pemilihan-kepala-daerah-langsung/2463051.html
No comments:
Post a Comment